Sunday, July 22, 2012

Dokar


Derap kereta kuda berjalan lambat menyusuri jalanan desa Kesambi, terlihat sisi kanan dan kiri pematang sawah menghijau tertiup angin dari bukit seberang. Sang kusir pun sesekali melecutkan pelatinya ke kuda kesayangan, jika Si kuda berhenti sejenak untuk memakan rerumputan bercampur dengan adonan dedak buatan Sang kusir. Perlahan kereta kuda, atau sering disebut Dokar oleh masyarakat dusun menurunkan satu demi satu penumpang setianya di jalanan yang mendekat dengan rumah Si penumpang. Cukup uang recehan sebesar 25 rupiah untuk membayar jasa angkut Dokar yang setiap harinya berjejer rapi menunggu penumpang keluar dari transaksi jual-beli di depan pasar Kesambi. Nyanyian gerusan geraham Si kuda mengunyah adonan rumput bercampur dedak terdengar nyaring dengan hembusan angin dusun, seakan ingin menunjukan bahwa Si kuda sedang menyiapkan stamina untuk membawa 10 penumpang setia menuju peristirahatan setelah seharian berjualan atau membeli di sebuah lahan luas berisikan pedagang yang mewarnai aktivitas di pasar Kesambi. Dan itu semua berlangsung 25 taun lalu, sebuah kondisi tak terusik oleh rakusnya kehidupan kota. Nyaman dengan alur kehidupan dusun yang jauh dari keadaan bernama polusi udara, bahkan saat polemik maraknya isu kenaikan BBM melanda negri kaya namun seperti pesakitan dalam kerajaannya sendiri. Negri dengan profil miskin keberanian untuk berdaulat memikirkan ideologi negara, perihal mengurusi rakyatnya pun, Si kepala negara meminta belas kasihan kepada penguasa asing. Keputusan bodoh merusak jati diri kebangsaan yang dampak awalnya melanda perkotaan, dan kini sayap kebijakannya memaksa pedesaan meneguk kepahitan racikan Si penguasa negri belahan barat.


Memang kehidupan akan terus berjalan, menggantikan setiap periode kebijakan ke kebijakan berikutnya. Jika dusun kami dahulu yang berlalu-lalang di jalanan desa adalah Dokar, dan kini berganti kendaraan besi bermotor yang mengepulkan asap pembakaran kala dijalankan yang mengisi jalanan raya melintas dusun kami. Tak masalah, toh itu semuanya bagiku merupakan bentuk perkembangan peradaban manusia yang normalnya setiap kurun waktu mengalami perubahan. Akan tetapi perubahan yang terjadi akankah sepihak dengan harapan Si penghuni dusun, yang sebagian besar mata pencahariannya bergantung pada hasil bumi. Jika sayap kebijakan yang merasuk kerelung kehidupan masyarakat pedesaan justru malah membuat mereka merasa tercekik dikarenakan kebijakan yang tidak membela keberadaan nyawa pribumi, untuk apa perubahan itu dipaksakan meracuni kehidupan damai masyarakat dusun. Toh kami masih bisa hidup nyaman dan menyekolahkan anak – anak kami ke jenjang yang kami mampu membiayai. Jika perubahan yang dipaksakan ini malah membuat anak – anak kami menjadi boneka penurut tingkah laku yang acap kali dipertontonkan lugas di kotak elektronik berlayar. Sungguh miris bentuk perubahan yang awalnya hanya menyulap Dokar menjadi Angkutan, kini merambah semacam wabah merusak moral generasi muda – mudi dusun yang terlihat polos dalam menelan segala tontonan murah dari kotak bernama Televisi. Miras, Pacaran, Dugem, Pakaian minim, dan seabrek perusak moral lainnya yang awalnya sangat tabu terjadi di kalangan muda kampung, kini menjadi hal lumrah yang setiap tahunnya santer terdengar muda – mudi menikah dikarenakan kejadian Married by Accident mewarnai carut – marutnya moral penerus bangsa dari kalangan kampung.

Itulah sekelumit realita yang terjadi sekarang, 25 tahun setelah kisah damai perjuangan Si kusir dan Dokarnya mengantarkan penumpang seusai beraktivitas di pasar. Sebuah kisah yang lebih nyaman didengarkan dibandingkan dengan kisah rusaknya moral generasi diakibatkan pemaksaan kebijakan semacam penghipnotisan massal, seakan tak menyadari keberadaan awal kebijakan ini berhembus. Yang mirisnya penguasa negri ini hanya terdiam membisu dan berdiri kaku melihat sebuah pengrusakan terstruktur yang dicanangkan oleh manusia iri dengan kedamain negri Indonesia. Entah bentuk demonstrasi seperti apa yang mampu menggoyahkan paku ketundukan Sang penguasa negri ini kepada kebijakan pro asing. Apakah perlu setiap pita suara dari kami sampai tak mampu menyaringkan sebuah suara keadilan, hingga Si pemilik kursi negara lebih menganggap keberadaan kami sebagai manusia yang layak dikasihi. Ironis.. Dan kenyataan pahit inilah yang sedang berlangsung di negri gemah ripah loh jinawi, Indonesia. Negri yang layak disebut surga dunia, segala bentuk kekayaan terhampar luas dari ujung pulau Sumatera hingga pulau Papua. Sayang semua itu hanya sebuah kiasan masa silam, yang indah terdengar kala kita duduk di bangku sekolah dasar..

“Kami pun menginginkan sebuah perubahan, sebuah transformasi sistemik yang mampu mengubah kehidupan kami lebih modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, bukan sebuah perubahan yang diikuti dengan merendahnya nilai – nilai kemanusiaan dan dekadensi moral generasi muda kami. Hingga kami bergumam, kami lebih nyaman dengan kisah Dokar tinimbang harus hidup dalam bayang – bayang ketakutan akan hancurnya sebuah kearifan lokal”..

(Kamis 19 Juli 2012) 

No comments:

Post a Comment