Derap kereta kuda berjalan lambat
menyusuri jalanan desa Kesambi, terlihat sisi kanan dan kiri pematang sawah
menghijau tertiup angin dari bukit seberang. Sang kusir pun sesekali melecutkan
pelatinya ke kuda kesayangan, jika Si kuda berhenti sejenak untuk memakan
rerumputan bercampur dengan adonan dedak buatan Sang kusir. Perlahan kereta
kuda, atau sering disebut Dokar oleh
masyarakat dusun menurunkan satu demi satu penumpang setianya di jalanan yang
mendekat dengan rumah Si penumpang. Cukup uang recehan sebesar 25 rupiah untuk
membayar jasa angkut Dokar yang
setiap harinya berjejer rapi menunggu penumpang keluar dari transaksi jual-beli
di depan pasar Kesambi. Nyanyian gerusan geraham Si kuda mengunyah adonan
rumput bercampur dedak terdengar nyaring dengan hembusan angin dusun, seakan
ingin menunjukan bahwa Si kuda sedang menyiapkan stamina untuk membawa 10
penumpang setia menuju peristirahatan setelah seharian berjualan atau membeli
di sebuah lahan luas berisikan pedagang yang mewarnai aktivitas di pasar
Kesambi. Dan itu semua berlangsung 25 taun lalu, sebuah kondisi tak terusik
oleh rakusnya kehidupan kota. Nyaman dengan alur kehidupan dusun yang jauh dari
keadaan bernama polusi udara, bahkan saat polemik maraknya isu kenaikan BBM
melanda negri kaya namun seperti pesakitan dalam kerajaannya sendiri. Negri
dengan profil miskin keberanian untuk berdaulat memikirkan ideologi negara,
perihal mengurusi rakyatnya pun, Si kepala negara meminta belas kasihan kepada
penguasa asing. Keputusan bodoh merusak jati diri kebangsaan yang dampak
awalnya melanda perkotaan, dan kini sayap kebijakannya memaksa pedesaan meneguk
kepahitan racikan Si penguasa negri belahan barat.
Memang kehidupan akan terus
berjalan, menggantikan setiap periode kebijakan ke kebijakan berikutnya. Jika
dusun kami dahulu yang berlalu-lalang di jalanan desa adalah Dokar, dan kini berganti kendaraan besi
bermotor yang mengepulkan asap pembakaran kala dijalankan yang mengisi jalanan
raya melintas dusun kami. Tak masalah, toh itu semuanya bagiku merupakan bentuk
perkembangan peradaban manusia yang normalnya setiap kurun waktu mengalami
perubahan. Akan tetapi perubahan yang terjadi akankah sepihak dengan harapan Si
penghuni dusun, yang sebagian besar mata pencahariannya bergantung pada hasil
bumi. Jika sayap kebijakan yang merasuk kerelung kehidupan masyarakat pedesaan
justru malah membuat mereka merasa tercekik dikarenakan kebijakan yang tidak
membela keberadaan nyawa pribumi, untuk apa perubahan itu dipaksakan meracuni
kehidupan damai masyarakat dusun. Toh kami masih bisa hidup nyaman dan
menyekolahkan anak – anak kami ke jenjang yang kami mampu membiayai. Jika
perubahan yang dipaksakan ini malah membuat anak – anak kami menjadi boneka
penurut tingkah laku yang acap kali dipertontonkan lugas di kotak elektronik
berlayar. Sungguh miris bentuk perubahan yang awalnya hanya menyulap Dokar menjadi Angkutan, kini merambah semacam wabah merusak moral generasi muda –
mudi dusun yang terlihat polos dalam menelan segala tontonan murah dari kotak
bernama Televisi. Miras, Pacaran, Dugem, Pakaian minim, dan seabrek perusak
moral lainnya yang awalnya sangat tabu terjadi di kalangan muda kampung, kini
menjadi hal lumrah yang setiap tahunnya santer terdengar muda – mudi menikah
dikarenakan kejadian Married by Accident mewarnai
carut – marutnya moral penerus bangsa dari kalangan kampung.
Itulah sekelumit realita yang
terjadi sekarang, 25 tahun setelah kisah damai perjuangan Si kusir dan Dokarnya
mengantarkan penumpang seusai beraktivitas di pasar. Sebuah kisah yang lebih
nyaman didengarkan dibandingkan dengan kisah rusaknya moral generasi
diakibatkan pemaksaan kebijakan semacam penghipnotisan massal, seakan tak
menyadari keberadaan awal kebijakan ini berhembus. Yang mirisnya penguasa negri
ini hanya terdiam membisu dan berdiri kaku melihat sebuah pengrusakan
terstruktur yang dicanangkan oleh manusia iri dengan kedamain negri Indonesia.
Entah bentuk demonstrasi seperti apa yang mampu menggoyahkan paku ketundukan
Sang penguasa negri ini kepada kebijakan pro asing. Apakah perlu setiap pita
suara dari kami sampai tak mampu menyaringkan sebuah suara keadilan, hingga Si
pemilik kursi negara lebih menganggap keberadaan kami sebagai manusia yang
layak dikasihi. Ironis.. Dan kenyataan pahit inilah yang sedang berlangsung di
negri gemah ripah loh jinawi,
Indonesia. Negri yang layak disebut surga dunia, segala bentuk kekayaan
terhampar luas dari ujung pulau Sumatera hingga pulau Papua. Sayang semua itu
hanya sebuah kiasan masa silam, yang indah terdengar kala kita duduk di bangku
sekolah dasar..
“Kami pun menginginkan sebuah
perubahan, sebuah transformasi sistemik yang mampu mengubah kehidupan kami
lebih modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, bukan sebuah
perubahan yang diikuti dengan merendahnya nilai – nilai kemanusiaan dan
dekadensi moral generasi muda kami. Hingga kami bergumam, kami lebih nyaman
dengan kisah Dokar tinimbang harus
hidup dalam bayang – bayang ketakutan akan hancurnya sebuah kearifan lokal”..
(Kamis 19 Juli 2012)
No comments:
Post a Comment