Saturday, August 4, 2012

Manusia – Manusia Lapar


Terdiam membisu di sudut kota meratap nasib
Mengemis kasih dan cinta dari lalu-lalang manusia
Memang kami bukan siapa-siapa, hanya manusia-manusia lapar
Namun salahkah kami meminta sebagian kasih dari kalian?
Menatap sayu indah dunia, yang tak berpihak pada kami
Seakan acuh dengan semua tetes mata kepedihan
Memang kami bukan siapa-siapa, hanya manusia-manusia lapar
Namun sebegitu kejamkah dunia terhadap kami?
Terlahir dinegeri kaya nan elok panorama alam
Sedikit tegukan pelepas dahaga pun urung kami dapatkan
Memang kami bukan siapa-siapa, hanya manusia-manusia lapar
Namun hinakah kami meminta kesejahteraan pada negri kami?
Kalian semua memang tak akan pernah mengerti
Memandang kami pun penuh kejijikkan jelas terlihat di mata kalian
Memang kami bukan siapa-siapa, hanya manusia-manusia lapar
Namun dimana sisi kemanusiaan kalian terhadap keberadaan kami?
Lantas selama ini kalian memandang kami dalam bentuk apa?
Sebatas manusia tak dianggap keberadaan ditengah kota kah?
Memang kami bukan siapa-siapa, hanya manusia-manusia lapar
Namun anggaplah kami lebih manusiawi, toh kami pun tetap manusia sama seperti kalian
Hanya tangis dan ratapan yang bisa kami lakukan
Tak mengapa, asal kami masih diberi kesempatan meminta kepada-Nya
Memang kami bukan siapa-siapa, hanya manusia-manusia lapar
Namun dibalik kejamnya dunia, Sang Esa masih melihat kami sebagai hambanya

(Selasa, 31 Juli 2012)

Sudut Pandang


Cara memperhatikan kondisi sekitar tiap Individu jelas berbeda. Dasar itulah yang menghasilkan bagaimana bersikap terhadap permasalahan. Hingga sikap tersebut mampu menyimpulkan seberapa besar kearifan yang dimiliki setiap Individu, akankah Ia benar-benar Orang ataukah sekadar spesies Manusia. Nampak sama namun jelas berbeda. Orang pastinya menduduki kasta tertinggi dibanding sekadar spesies manusia, yang acapkali tolak ukur hidupnya Ia sendiri yang menentukan. Spesies Manusia jelas mengabaikan nilai-nilai luar yang sejatinya menjadikan Individu itu sendiri menjadi manusia seutuhnya. Entah Ia sendiri lupa dengan nilai-nilai dirinya sendiri, atau memang Ia terlena dengan nilai-nilai duniawi yang memuaskan hati. Yang menjadikan Ia tak lebih dari spesies manusia saja,bertulang dan berdaging berisikan nyawa. Praktis sudah bumi ini memiliki dua jenis Individu dari segi sudut pandang kehidupan.

Absurd


Manusia dimanapun dilahirkan dari rahim seorang wanita. Terserah Ia memanggil sosok itu dengan sebutan Emak, Ibu, Biyung, Emes, atau sebutan khas daerah lainnya. Makhluk satu ini memang diciptakan oleh sang Esa memiliki berlebih kemampuan dibandingkan sejumlah makhluk lain, yang hanya bermodalkan akal saja maupun nafsu belaka. Terlebih dengan wujud jasmani sempurna lagi baik yang menempatkan Ia sebagai pemuncak atas Hierarki makhluk penghuni bumi. Tingkat intelegensia diatas rata-rata dan kemampuan bawaan yang dipunyainya menempatkan dirinya sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri serta manusia lain yang kebetulan mau Ia pimpin. Terkadang perselisihan sesama manusia mewarnai lembaran cerita siapakah penikmat tampuk kekuasaan yang nantinya pemenangnya akan dielukan keberadaannya sebagai seorang pemimpin. Dan disinilah, keabsurdan sebagai makhluk manusia menggeliat memudarkan nilai kemanusiaan itu sendiri.

Kekuasaan


Jika bertanya perihal keduniaan yang merusak idealis,
Kekuasaan dan jabatan lah jawabannya.
Ia mampu mengubah idealis menjadi materialis.
Materialis menjadi pragmatis bahkan dogmatis.
Merontokkan nilai mulia menjadi tercela.
Tengok semasa Soekarno memimpin bangsa.
Dari figur pembela rakyat dan sahabat manusia malang,
Yang menjadikan dirinya dipercaya sebagai sang proklamator.
Menjadi sosok tamak kemewahan dan wanita – wanita cantik.
Sampai kepekaan sosial beliau pun terbuang entah kemana,
Dengan membiarkan manusia lemah memakan kulit mangga,
Hanya berjarak 2 km dari istana negara yang akrab dengan kemewahan.
Bukan cuma Soekarno yang terbius tampuk kekuasaan semasa Ia menjabat.
Hal yang sama terjadi di pemimpin – pemimpin sesudahnya.
Hal yang membedakan keduanya jika Soekarno memang berjiwa pemimpin,
Sedang sosok penguasa sekarang sekedar pemimpin mental karbitan.
Kesamaaannya mereka menelurkan kebijakan yang menindas rakyat.
Apakah hal yang sama akan terjadi pada ‘manusia peduli’ sekarang?
Notabene pewaris kursi kekuasaan di kepemimpinan selanjutnya.
Sebuah tanya yang akan terjawab di masa mendatang..

(Senin, 23 Juli 2012)