Manusia
terlahir sesempurna mungkin berikut dengan perangkat istimewa yang
membedakannya dengan makhluk lain di muka bumi. Meski tercipta dari saripati
hina ia dimuliakan kedudukannya dengan kemampuannya memposisikan dirinya pada
kondisi yang menunjukan eksistensinya sebagai manusia. Disinilah akal berperan
besar disetiap kondisi keduniaan yang mampu mewujudkan arti manusia itu
sendiri. Terlebih manusia memiliki sebuah gumpalan darah pemicu semua mimik
suasana yang terpatri dari paras wajah. Dari darah inilah ia mampu merasakan
kondisi sekitar dan mampu menentukan langkah tepat untuk menyikapi kejadian
dilingkungannya. Gumpalan darah inilah yang membedakan dan mengklasifikasikan
manusia-manusia dalam beberapa strata kehidupan. Entah ia akan menjadi manusia
peduli ataukah memang gumpalan darah ini memang mati yang mewujudkan manusia
buta terhadap lingkungan sekitar.
Hati
disetiap diri manusia memang berbeda dalam hal menyikapi segenap peristiwa
keduniaan. Akankah ia memang menunjukan sifat kemanusiaannya yang pada dasarnya
setiap manusia akan resah jika melihat sebuah bentuk ketidakadilan terjadi di
muka bumi. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwasanya banyak segelintir manusia yang
hanya memajang gumpalan darah ini ditempatnya dalam sistem tubuh. Ia tidak
mempergunakan dengan semestinya arti dari keberadaan hati manusia. Lantas
sebutan apa yang tepat untuk manusia seperti ini? Apakah ia memang manusia atau
sekadar makhluk yang dibekali akal dan sistem istimewa lain? Ironi memang..
Manusia
dengan hati yang berfungsi tentunya menunjukan arti sebenarnya dari keberadaan
manusia itu sendiri. Sebuah ciptaan sempurna dari Dzat Maha sempurna yang mampu
memposisikan dengan benar mengingat posisinya sebagai hamba di muka bumi. Ia
senantiasa menggunakan hatinya dalam merespon kejadian diluar hidupnya yang
terwujudkan dalam bentuk dan tingkah laku bentuk dari kemanusiaan itu sendiri.
Manusia tentu tidak ingin hati yang dimilikinya justru menjadi titik noda
keburukan yang menjadikan manusia itu menjauh dari sisi kemanusiaan. Ia akan
selalu mencoba untuk mensucikan hati tersebut, terlebih hati memang mudah
teracuni oleh penyakit-penyakit hati. Entah ia dengki, hasud, fitnah, congkak,
ataupun buruk sangka. Namun dari ribuan manusia di bumi, sedikit dari mereka
yang mengerti betul akan kebersihan sebuah hati. Semakin hari bukannya hati
menjadi bersih namun hati semakin buruk rupa dengan racun hati yang selalu
diperbesar dosisnya oleh manusia itu sendiri. Kembali akal berperan penting
dalam menentukan ultimatum tegas terkait mengelola hati dan perawatan yang
tepat untuk menjaga kesucian hati. Karena manusia sejati dilihat dari bagaimana
ia mampu menggunakan hatinya sesuai dengan sunnatullah penciptaannya. Hati
diciptakan untuk mengerti dan peduli dengan keadaan hati manusia lain serta
menentukan pilihan terkait kesenangan dan kesedihan manusia. Sebuah kondisi
wajar dan memang selalu menghampiri manusia berhati.
“Manusia
memang istimewa. Ia diciptakan di dunia dengan perangkat sesempurna mungkin
dibanding dengan makhluk lain yang diciptakan. Terlebih dari itu menjadikan
manusia-manusia terbagi dalam beberapa jenis manusia penghuni bumi. Ia akan
menjadi manusia sejati kala hati yang ada dalam sistem tubuhnya digunakan
sesuai dengan kodrat penciptaannya. Atau ia hanya menjadi jenis manusia yang
buta terhadap kondisi sekitar, karena memang hati yang ada pada dirinya sekadar
pajangan dalam sistem tubuh. Itu semua berbicara tentang sebuah pilihan, toh
setiap diri manusia telah dibekali dengan sistem istimewa lain, sebuah akal yang
mampu memberi rona pada hati setiap diri manusia yang hidup di muka bumi.”
No comments:
Post a Comment