Peredaran waktu bumi kini telah
di penghujung bulan Sya’ban, geliat kesucian bulan Ramadhan mulai tercium indra
pembau setiap muslim yang rindu akan kehadiran bulan turunnya kitab pedoman
segenap umat muslim. Di penjuru belahan dunia hingga di pelosok – pelosok dusun
pun riang menyambut kehadiran bulan ini, baik dengan saling memaafkan sesama
penghuni kampung maupun berziarah di kubur sanak keluarga yang terlebih dahulu
menghadap ke pangkuan Sang Esa. Hingga parodi penyambutan pun sedikit terusik
dikarenakan kepastian datangnya 1 Ramadhan yang selalu menjadi bahan perdebatan
setiap tahunnya. Sebuah drama wajib yang selalu dipertontonkan oleh sebagian
besar ORMAS Islam di negri terbesar penganut muslim perihal adu argumen tentang
jatuhnya awal kaum muslim untuk bershaum. Sindiran halus antar ORMAS pun kerap
mewarnai jalannya sidang isbat yang dituan rumahi oleh pemerintah terkait
membahas masalah ini, ringan namun berdampak besar terhadap kesatuan kaum
muslim dan bentuk ketakutan hamba terhadap Sang Khalik.
Janggal memang jika kita
menganalogikan perdebatan tersebut, toh kita sama – sama satu pemeluk
kepercayaan yang sama. Bentuk ibadah kita pun merujuk pada kiblat yang sama,
kitab pedoman yang sama, sesembahan yang sama, bahkan tata cara ibadah vertikal
pun mayoritas sama. Namun mengapa tidak, dalam hal penentuan 1 Ramadhan dan 1
Syawal yang terkesan berbelit dan berbenturan dengan kepentingan lokal yang
berdampak pada silat lidah berkepanjangan, seakan setiap ORMAS bersikukuh
dengan metode yang ia percayai dalam melihat adanya hilal, sebagai pertanda
awal kaum muslim Indonesia untuk bershaum. Sedang suri tauladan kita
mengajarkan, bahwasanya ‘berpuasalah jika kalian melihat hilal, dan berbukalah
jika kalian melihat hilal’. Sebuah landasan penentuan dalam memutuskan 1
Ramadhan dan 1 Syawal. Disadari memang, pemerintah bersamaan dengan ORMAS di
negri ini telah memahami perkara yang telah diajarkan oleh Suri Tauladan Nabi
Muhammad S.A.W. Mereka dalam praktiknya telah mengapresiasi sabda Baginda
tersebut, namun mereka masih tersekte oleh pemikiran bahwasanya hilal harus
terlihat di negri Indonesia, meskipun di belahan bumi lain hilal sudah terlihat
dan dipastikan 1 Ramadhan jatuh pada keesokan harinya. Ini yang membingungkan
dari kebijakan pemerintah dibantu oleh ulama
– ulama yang mengatasnamakan dirinya sebagai pewaris nabi. Bagaimana
mengharapkan sebuah persatuan kaum muslim Indonesia, jika sekte kelokalan
negara dan pemikiran kebangsaan masih menjadi tolak ukur dalam menanggapi
masalah 1 Ramadhan?. Sesederhana mungkin masalah ini bisa terselesaikan jika
kita memakai tolak ukur bahwasanya 1 Ramadhan berlangsung jika di negri
manapun, entah Indonesia, Mesir, Arab Saudi, Malasyia telah melihat sebuah
hilal, jatuhlah kewajiban keesokan harinya kita untuk berpuasa. Yang pada
kenyataannya objek yang dijadikan sebagai sasaran hilal adalah satu objek yang
sama, yakni matahari. Dan di bumi ini tidak ada sebuah negara dengan negara
lain yang memiliki perbedaan rentang waktu hingga 24 jam. Jadi jika di negri
Arab telah melihat hilal, maka sudah menjadi kewajiban di negri ini pun untuk
mematuhi kebijakan tersebut dan segera mungkin mensucikan hati guna
melaksanakan puasa Ramadhan. Untuk itulah rasa ketakwaan sebagai hamba yang
taat perlu diperkuat dalam setiap kesempatan hembusan kaum muslim, sehingga
perasaan takut akan kehidupan berikutnya mampu menyingkirkan benalu pemikiran
kolot, sebuah pemikiran yang mementingkan golongannya sendiri, maupun
kepentingan lokal sebuah kekuasaan negara..
‘Marhaban ya Ramadhan. Selamat
menunaikan ibadah shaum sesungguh – sungguhnya bagi setiap insan yang
menuliskan identitasnya sebagai umat islam. Semoga Ramadhan ini mampu
mengentaskan ribuan dosa setiap diri manusia muslim yang ikhlas menunaikan
ibadah Shaum Ramadhan’
(Jum’at 20 Juli 2012)
No comments:
Post a Comment