Sunday, July 22, 2012

Kini atau Esok??


Peredaran waktu bumi kini telah di penghujung bulan Sya’ban, geliat kesucian bulan Ramadhan mulai tercium indra pembau setiap muslim yang rindu akan kehadiran bulan turunnya kitab pedoman segenap umat muslim. Di penjuru belahan dunia hingga di pelosok – pelosok dusun pun riang menyambut kehadiran bulan ini, baik dengan saling memaafkan sesama penghuni kampung maupun berziarah di kubur sanak keluarga yang terlebih dahulu menghadap ke pangkuan Sang Esa. Hingga parodi penyambutan pun sedikit terusik dikarenakan kepastian datangnya 1 Ramadhan yang selalu menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Sebuah drama wajib yang selalu dipertontonkan oleh sebagian besar ORMAS Islam di negri terbesar penganut muslim perihal adu argumen tentang jatuhnya awal kaum muslim untuk bershaum. Sindiran halus antar ORMAS pun kerap mewarnai jalannya sidang isbat yang dituan rumahi oleh pemerintah terkait membahas masalah ini, ringan namun berdampak besar terhadap kesatuan kaum muslim dan bentuk ketakutan hamba terhadap Sang Khalik.

Janggal memang jika kita menganalogikan perdebatan tersebut, toh kita sama – sama satu pemeluk kepercayaan yang sama. Bentuk ibadah kita pun merujuk pada kiblat yang sama, kitab pedoman yang sama, sesembahan yang sama, bahkan tata cara ibadah vertikal pun mayoritas sama. Namun mengapa tidak, dalam hal penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang terkesan berbelit dan berbenturan dengan kepentingan lokal yang berdampak pada silat lidah berkepanjangan, seakan setiap ORMAS bersikukuh dengan metode yang ia percayai dalam melihat adanya hilal, sebagai pertanda awal kaum muslim Indonesia untuk bershaum. Sedang suri tauladan kita mengajarkan, bahwasanya ‘berpuasalah jika kalian melihat hilal, dan berbukalah jika kalian melihat hilal’. Sebuah landasan penentuan dalam memutuskan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Disadari memang, pemerintah bersamaan dengan ORMAS di negri ini telah memahami perkara yang telah diajarkan oleh Suri Tauladan Nabi Muhammad S.A.W. Mereka dalam praktiknya telah mengapresiasi sabda Baginda tersebut, namun mereka masih tersekte oleh pemikiran bahwasanya hilal harus terlihat di negri Indonesia, meskipun di belahan bumi lain hilal sudah terlihat dan dipastikan 1 Ramadhan jatuh pada keesokan harinya. Ini yang membingungkan dari kebijakan  pemerintah dibantu oleh ulama – ulama yang mengatasnamakan dirinya sebagai pewaris nabi. Bagaimana mengharapkan sebuah persatuan kaum muslim Indonesia, jika sekte kelokalan negara dan pemikiran kebangsaan masih menjadi tolak ukur dalam menanggapi masalah 1 Ramadhan?. Sesederhana mungkin masalah ini bisa terselesaikan jika kita memakai tolak ukur bahwasanya 1 Ramadhan berlangsung jika di negri manapun, entah Indonesia, Mesir, Arab Saudi, Malasyia telah melihat sebuah hilal, jatuhlah kewajiban keesokan harinya kita untuk berpuasa. Yang pada kenyataannya objek yang dijadikan sebagai sasaran hilal adalah satu objek yang sama, yakni matahari. Dan di bumi ini tidak ada sebuah negara dengan negara lain yang memiliki perbedaan rentang waktu hingga 24 jam. Jadi jika di negri Arab telah melihat hilal, maka sudah menjadi kewajiban di negri ini pun untuk mematuhi kebijakan tersebut dan segera mungkin mensucikan hati guna melaksanakan puasa Ramadhan. Untuk itulah rasa ketakwaan sebagai hamba yang taat perlu diperkuat dalam setiap kesempatan hembusan kaum muslim, sehingga perasaan takut akan kehidupan berikutnya mampu menyingkirkan benalu pemikiran kolot, sebuah pemikiran yang mementingkan golongannya sendiri, maupun kepentingan lokal sebuah kekuasaan negara..

‘Marhaban ya Ramadhan. Selamat menunaikan ibadah shaum sesungguh – sungguhnya bagi setiap insan yang menuliskan identitasnya sebagai umat islam. Semoga Ramadhan ini mampu mengentaskan ribuan dosa setiap diri manusia muslim yang ikhlas menunaikan ibadah Shaum Ramadhan’

(Jum’at 20 Juli 2012)

No comments:

Post a Comment