Sunday, July 22, 2012

Perseteruan


Tersadar raga ku kian berat untuk berjalan.
Dibuat melangkah pun pijakan kedua kaki ku seakan mematung.
Seperti ada pergolakan berkecamuk di alam pikiran ku,
Yang mengalihkan konsentrasi perintah untuk berpijak.
Membisu sepertinya hal terbaik yang bisa kulakukan.
Seraya bertanya pada kenyataan.
Sampai kapan kondisi seperti ini akan berjalan?
Memasung kreativitas pemikiran idealis,
Serta menelanjangi guratan perasaan.
Pedih, dan menyesakkan dada terasa memilukan.
Tapi memang itu yang berputar-putar di relung saraf neuron.
Mungkin benar ucap seorang teman kemarin lusa,
Saya perlu didoakan oleh segenap manusia yang mengenal keberadaanku.
Entahlah..
Hingga detik ini saya pun masih bersemangat sekali,
Untuk menuntaskan perseteruan dalam alam pikiranku..

(Minggu, 22 Juli 2012)

Kisah yang Kupilih


Semakin saya idealis dan senang mendaki gunung, dunia wanita seakan kian menjauh dari kehidupanku. Anehnya itu membuatku merasa senang dan damai dalam menekuni masa – masa menuju kedewasaan. Entah perasaan bersatu dengan nafas alam yang mampu melululantahkan rona asmara yang menjangkit lelaki seumuranku, atau mungkin karena tameng malas dari diriku sendiri yang merasa dipecundangi oleh cinta lawan jenis, jika diri ini mulai ingin bermain – main dalam lautan asmara. Atau memang selama kedekatanku dengan lawan jenis, semakin membuat kedamaian yang selama ini kutempuh untuk mencarinya, justru kian menghilang dari peraduannya. Yang jelas saya merasa nyaman dan santai dengan label single yang tak sadar sudah kutekuni hampir 20 tahun singgah di bumi.

Kini atau Esok??


Peredaran waktu bumi kini telah di penghujung bulan Sya’ban, geliat kesucian bulan Ramadhan mulai tercium indra pembau setiap muslim yang rindu akan kehadiran bulan turunnya kitab pedoman segenap umat muslim. Di penjuru belahan dunia hingga di pelosok – pelosok dusun pun riang menyambut kehadiran bulan ini, baik dengan saling memaafkan sesama penghuni kampung maupun berziarah di kubur sanak keluarga yang terlebih dahulu menghadap ke pangkuan Sang Esa. Hingga parodi penyambutan pun sedikit terusik dikarenakan kepastian datangnya 1 Ramadhan yang selalu menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Sebuah drama wajib yang selalu dipertontonkan oleh sebagian besar ORMAS Islam di negri terbesar penganut muslim perihal adu argumen tentang jatuhnya awal kaum muslim untuk bershaum. Sindiran halus antar ORMAS pun kerap mewarnai jalannya sidang isbat yang dituan rumahi oleh pemerintah terkait membahas masalah ini, ringan namun berdampak besar terhadap kesatuan kaum muslim dan bentuk ketakutan hamba terhadap Sang Khalik.

Dokar


Derap kereta kuda berjalan lambat menyusuri jalanan desa Kesambi, terlihat sisi kanan dan kiri pematang sawah menghijau tertiup angin dari bukit seberang. Sang kusir pun sesekali melecutkan pelatinya ke kuda kesayangan, jika Si kuda berhenti sejenak untuk memakan rerumputan bercampur dengan adonan dedak buatan Sang kusir. Perlahan kereta kuda, atau sering disebut Dokar oleh masyarakat dusun menurunkan satu demi satu penumpang setianya di jalanan yang mendekat dengan rumah Si penumpang. Cukup uang recehan sebesar 25 rupiah untuk membayar jasa angkut Dokar yang setiap harinya berjejer rapi menunggu penumpang keluar dari transaksi jual-beli di depan pasar Kesambi. Nyanyian gerusan geraham Si kuda mengunyah adonan rumput bercampur dedak terdengar nyaring dengan hembusan angin dusun, seakan ingin menunjukan bahwa Si kuda sedang menyiapkan stamina untuk membawa 10 penumpang setia menuju peristirahatan setelah seharian berjualan atau membeli di sebuah lahan luas berisikan pedagang yang mewarnai aktivitas di pasar Kesambi. Dan itu semua berlangsung 25 taun lalu, sebuah kondisi tak terusik oleh rakusnya kehidupan kota. Nyaman dengan alur kehidupan dusun yang jauh dari keadaan bernama polusi udara, bahkan saat polemik maraknya isu kenaikan BBM melanda negri kaya namun seperti pesakitan dalam kerajaannya sendiri. Negri dengan profil miskin keberanian untuk berdaulat memikirkan ideologi negara, perihal mengurusi rakyatnya pun, Si kepala negara meminta belas kasihan kepada penguasa asing. Keputusan bodoh merusak jati diri kebangsaan yang dampak awalnya melanda perkotaan, dan kini sayap kebijakannya memaksa pedesaan meneguk kepahitan racikan Si penguasa negri belahan barat.