Beragam
spekulasi pendefinisian manusia telah terlontarkan dari sejumlah manusia yang
mengaku sebagai seorang pemikir. Bermacam dasar pemikiran mereka pakai untuk
melegalisi pemahaman yang mereka anggap paling baik menurut sudut pandang
pribadi sendiri maupun golongan yang menaungi pemahaman tersebut. Yang pada
akhirnya beraneka teoritis manis pun terlahirkan dalam rangka membedah dan
memaknai arti dari makhluk yang memiliki potensi berakal dan bernafsu, manusia.
Entahlah Ia sebagai zoon politicon seperti kata Aristoteles ataupun makhluk
dwitunggal seperti yang dituliskan oleh buku PPKN yang diajarkan di jenjang SMA
dahulu. Namun yang ingin saya tuliskan disini ialah definisi manusia
berdasarkan sudut pandang Allah sebagai dzat tertinggi dalam memberikan posisi
bagi makhluk ciptaan-Nya di dunia yang hanya berstatuskan hamba-Nya. Setidaknya
manusia didefinisikan sebagai berikut ini :
Makhluk ciptaan
Allah. “Dia
menciptakan manusia.” (Ar-Rahman:3). Lantas pantaskah kita disebut sebagai
bagian dari spesies manusia jika kita masih meragukan siapa dibalik penciptaan
kita di bumi. Ia menutup diri dari pencarian kebenaran dibalik kejadian
penciptaan manusia padahal kini Ia hidup di zaman dimana segala informasi mudah
diperoleh dari sumber manapun.
Makhluk yang
dimuliakan. “
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di
darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang
sempurna.” (Al-Isra’:70). Lantas pantaskah kita disebut sebagai bagian dari
spesies manusia jika kita masih tidak bersyukur dengan keadaan yang kita miliki
saat ini.? Begitu banyak manusia selalu menghakimi aspek kejadian yang menimpa
dirinya jika kejadian tersebut Ia pandang buruk menurut pemahaman Ia sendiri.
Makhluk yang pandai
bicara. “
Mengajarnya pandai bicara.” (Ar-Rahman:4). Fitrah manusia diciptakan mempunyai
kepandaian dalam berbicara, mengungkapkan argument yang menjadi landasan
berfikirnya. Dari kemampuan inilah Ia mampu mengajak manusia lain terkait dalam
kebaikan maupun keburukan.
Makhluk dengan
bentuk yang baik.
“ Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(At-Tin:4). Ini membantah pernyataan Darwin dengan teori evolusinya yang
menyatakan manusia berasal dari kera.
Makhluk yang
dimintai pertanggungjawaban. “
Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban)?.” (Al-Qiyamah:36). Lantas pantaskah kita disebut sebagai
bagian dari spesies manusia jika kita masih beranggapan ketika kita sudah
menjadi tulang-belulang kita tidak akan dibangkitkan? Dengan konsekuensi
mempertanggungjawabkan semua yang telah kita usahakan ketika kita masih diberi
kesempatan menghirup udara bebas. Ketika kita mati dan menyesali semua perihal
hidup yang disia-siakan tentunya tidak ada kesempatan bagi kita untuk kembali
pada kehidupan dunia.
“
Manusia dengan posisinya sebagai sama-sama makhluk dan hamba Allah yang jauh
dari kesempurnaan, jelaslah Ia tidak layak untuk mengintimidasi manusia lain
berdasarkan apapun. Toh kita sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban
nantinya perihal tingkah laku kita sebagai hamba dan sebagai manusia yang
menjalin hubungan sosial dengan manusia lain.”
17
September 2012
No comments:
Post a Comment